Saturday, December 24, 2011

Suluh Di Tengah Kelam



Pada jaman dahulu, saat sejarah masih diceritakan mulut ke mulut, kala dunia masih tinggal dalam gelap. Manusia hanya mengenal Matahari, Bulan dan Bintang-Bintang sebagai sumber terang. Mereka menginginkan terang. Dalam gelap mereka ketakutan. Dalam gelap mereka mengkhawatirlan hidup mereka. Apa daya tangan mereka tidak dapat menjangkau bahkan bintang-bintang yang tampak kecil berkilau dilangit malam, apa lagi matahari yang begitu agung dan besar. Seandainya bisa, mereka berharap setiap manusia bisa memegang bintang mereka masing-masing dan hidup dalam terang yang sirnakan ketakutan dan kekhawatiran mereka.

Usaha apapun yang mereka buat senantiasa gagal. Pernah mereka membuat suatu menara. Sangat besar dan sangat tinggi. Bersatu mereka membangun  menara ini, berharap kelak dari puncaknya setiap manusia dapat memetik sebuah bintang dan menjadikan miliknya. Namun gagal. Menara yang mereka bangun runtuh, hancur menjadi puing-puing.

Letih, lelah, mereka putus harapan.

Merka berteriak kepada langit, menanti jawab yang tidak kunjung tiba.

Hingga datanglah utusan langit menawarkan secercah harap pada dunia yang gelap. Sang pembawa pesan ini mendatangi dan menghadap seorang raja. Dengan hormat ia memberi salam "Damai sejahtera beserta mu wahai Raja, dan damailah kerajaanmu."
"Jerit dan teriakmu telah didengar langit" Sahut sang pembawa pesan.
"Namun semua tidak mungkin terjadi tanpa kerja sama kalian" lanjutnya.

"Apa yang bisa kami bantu?""Berapa kami harus bayar?""Pada kami ada kekayaan, emas, perak, dan semua batu berharga" Jawab Sang Raja. Pikir sang raja jika itu semua pun kurang ia akan menaikkan pajak 2 kali lipat.

"Apa yang ada di tanganmu?" Tanya sang pembawa pesan.
"O, ini tongkat kerajaanku."Jawab sang raja. "Maksudmu, engkau inginkan ini? Tahukah engaku  bahwa dengannya aku memerintah, dengannya kerajaanku ditegakkan. Dengan menyerahkan tongkat ini padamu  itu sama artinya aku menyerahkan kerajaanku padamu." Sang raja menjelaskan. " Memang tongkat ini terbuat dari kayu yang disalut emas dan bertahtakan batu-batu mulia. Tapi bukankah perbendaharaanku lebih besar artinya? Jika perlu biar rakyat berkorban lebih dengan membayar pajak dua kali lipat asal api langit itu ada pada kami. Bagaimana dengan penawaranku ini?" sang raja menawarkan.

Dengan tersenyum kecil sang pembawa pesan memohon maaf serta menolak tawaran raja dan dengan santun ia berpamitan serta meninggalkan raja yang kebingungan karena kekayaan yang dia tawarkan baru saja ditolak.

Sang pembawa pesan kembali berkelana, bertanya dan mencari. Sampailah ia pada sekelompok orang-orang cendikia yang sedang berdiskusi dan saling bertukar ilmu. Seperti halnya guru-guru masa kini, para cendikian ini membawa tongkat sebagai lambang kecendikiaan mereka.

Bertanyalah sang pembawa pesan kepada para cendikia, "Maukah engkau menjadi pembawa terang?"
Dengan kompak orang-orang ini menyahut, "Mau"
"Kami ini pembawa pencerahan bagi manusia-manusia bodoh disekeliling kami."
"Jadi Sudah takdir kami, jikalau kami menjadi pembawa terang. Pasti kami akan gunakan dengan bijak dan berhati-hati supaya manusia tidak terjerumus dalam dunia kegelapan lagi."
"Baiklah," jawab sang pembawa pesan, "kini boleh aku bertanya sekali lagi?"
"Bertanyalah dan pasti kami bisa menjawab" jawab seorang cendikia dengan bangga.
"Apa yang pada tanganmu, boleh kah aku memintanya?" mohon sang pembawa pesan dengan santun.
"Kami hanya enam orang dan hanya enam tongkat kecil yang kami pakai untuk mengajarkan orang-orang tentang kebenaran. Bagaimana cara kami membawa api langit itu keseluruh dunia dengan tongkat kami? Belum sampai kami ke pulau sebrang, habislah tongkat kami. Api tidak tersebar, mengajar orang pun kami menjadi tak mampu. Apa jadinya kami nanti" Jawan sang cendikia.
Seorang cendikia lain menjawab dengan bijak, "jika tongkat pengajaran yang kau minta, kami tidak bisa membantumu, kami menjadi penerang bagi dunia gelap kebodohan dengan tongkat kami."

Segera sang pembawa pesan berpaling dan mengundurkan diri dari kelompok cendikia ini, dan ia masih terus mencari.

Dalam perjalanannya ia berpapasan dengan seorang prajurit tangguh. Kilau pakaian besinya menunjukkan ia bukan prajurit biasa. Pedang yang disandangnya berukirkan ukiran keagungan. Tangan kekar yang menggenggam tombak sang prajurit memperlihatkan keberaniannya di medan perang. Sang pembawa pesan segera memberi hormat dan memberi salam, "Selamat pagi wahai pahlawan agung!"
"Selamat pagi wahai pengembara, apa yang bisa hambanmu perbuat untuk menolongmu?" balas sang pahlawan agung.
"Tentu kau mengenalku bahwa aku bersedia menolong siapapun. Bahkan seorang janda miskin pun akan aku bantu. Untuk itulah aku dilahirkan. Dengan lengan kuatku rakyat dibentengi, dengan tombakku aku halau yang mengusik hidup mereka. Maka sekarang sebutkanlah permintaanmu, niscaya aku akan membantu." Lanjut sang pahlawan agung.
"Untuk api langit yang aku bawa, aku membutuhkan tombakmu sebagi suluh. Ijinkan aku meminta tombakmu." sang pembawa pesan meminta.
Dengan sedikit kaget sang pahlawan menjawab, "Jika engkau memintaku mengawalmu sepanjang pencarianmu aku pasti akan menemanimu. Jika engkau memintaku untuk merebut sebuah suluh dari tangan mahluk buas aku akan angkat tombak dan aku robek dan akan aku rebut suluh itu bagimu. Bahkan jika engkau memintaku untuk menggendongmu aku pun akan lakukan. Namun dengan tombak yang kau minta ini, apa yang dapat engkau perbuat? Dengan tombak ini aku telah memenangkan banyak pertempuran, dengan tombak ini aku telah tusuk banyak jantung mahluk-mahluk buas. Biarkanlah aku tetap memilikinya sehingga aku tetap bisa melindungi manusia-manusia tidak berdaya ini. Jika engkau meminta tombakku, maaf kali ini aku tidak bisa membantumu." selesai sang pahlawan agung menjawab, segera sang pahlawan agung memacu kudanya dan hilang dari pandang.

Rupanya pembicaraan sang pembawa pesan dengan sang pahlawan agung telah menarik kerumunan orang. Sepeninggal sang pahlawan, kerumunan itu pergi seorang demi seorang. Hingga tinggallah disitu seorang gembala. Si gembala ini menawarkan tongkatnya, katanya, "bagaimana dengan tongkatku? Apakah ini cukup?"
"Apakah engkau tidak membutuhkannya?" sang pembawa pesan balas bertanya.
"Aku memang membutuhkan tongkatku untuk mengatur barisan domba-domba gembalaanku. Namun jika memang tongkat ini hendak engaku pakai, aku bisa mencari ranting-ranting kering atau batang-bantang pohon lain untuk aku gunakan menggembalakan domba-dombaku."


Dan pada akhirnya bukan dari tongkat raja, tongkat cendikia, maupun tombak sang pahlawan agung terang api langit dilahirkan di bumi. Namun dari kesederhanaan tongkat gembala yang disebarkan pada ranting-ranting kering yang terbuang dan yang diinjak-injak orang, terang dunia menjelajah bumi, memberi terang pada mereka yang tinggal dalam gelap. Api langit tidak mencari kemewahan, kepintaran dan keperkasaan, dari sebuah kesederhanaan terang dunia dilahirkan.

Kawan, menjadi terang bagi sekelilingmu tidak tergantung besar kekuasaan yang engkau punya, tidak tergantung pula tingkat IQ dan kecerdasanmu, juga itu tidak tergantung seberapa kamu hebat. Dalam kesederhanaan dan asal engkau mau menjadi terang dalam setiap perkataan dan perbuatan... maka terang akan lahir di dunia yang gelap, terang lahir di lorong-lorong sempit, terang lahir di kolong-kolong jembatan, memberikan damai dalam kekawatiran, memberikan harapan pada mereka yang kecewa, menyembuhkan luka mereka yang patah hati.
Sekarang, apa yang ada pada tanganmu?


*sebuah cerita natal dari sudut pandang yang berbeda dan pemikiran yang agak bebas.

No comments:

Post a Comment