Monday, December 26, 2011

Kita Hanya Hidup Hari Ini



Hidup memang senantiasa sebuah pilihan. Ia membawa hidup kita pada persimpangan demi persimpangan. Hidup penuh dengan memutuskan satu hal dan suatu hal yang lain. Tidak selalu mudah aku katakan. Ada pilihan-pilihan sulit yang perlu dibuat.

Resiko senantiasa ada. Tidak ada pilihan yang tidak beresiko. Dulu aku tidak pernah takut dengan resiko. Menempuh resiko sudah menjadi bagian hidupku. Jika kini aku melihat kepada masa mudaku, bukan keberanian yang aku lihat, namun kenekatan yang ada dalam diriku. Banyak keputusan-keputusan tak berotak dan sama sekali tidak bijak yang aku ambil, sebuah keputusan-keputusan konyol dan bodoh. Keputusan -keputusan yang ditentukan berdasar otot dan bukan otak. Tertawa aku mengingatnya.

Namun bagi seorang Raja, pantang menyesal. Perkataanku adalah hukum. Dan hukum yang goyah mengusik kedamaian rakyat. Ayahku mengajarkan keteguhan, seorang pria harus bisa dipegang mulutnya. Pantang mundur, pantang menarik keputusan. Apapun yang terucap pantang aku jilat kembali. Seorang pemimpin tidak boleh plin-plan.

Bertahun-tahun lalu Ia mengajariku hal ini, namun baru kini aku mengerti. Sebenarnya ayahku ingin mengajarkan padaku bahwa seorang raja, siapapun sebagai manusia, haruslah bijak. Tiap perkataan dan keputusan haruslah benar-benar dipikirkan, karena sesungguhnya dalam banyak bicara terletak banyak kesalahan.

Kini hidup yang aku jalani sebagai Raja adalah tuaian keputusan-keputusan masa laluku. Keputusanku untuk melakukan ekspedisi penaklukan keseluruh daratan di muka bumi, membuatku menikmati kerajaan yang megah, luas, dan agung. Semua kekayaan yang ada dalam perbendaharaan istana sebagaian besar adalah jarahan perangku. Keputusanku dulu membuat aku dihormati, disanjung, dan ditinggikan lebih dari manusia yang lain.

Namun tidak semua hasil keputusanku menyenangkan. Dalam kebodohaku aku melahirkan keputusan-keputusan yang kini membuat galau hatiku. Meski aku dulu bangga dengan cerita-cerita perang dan cerita-cerita kemenangan yang aku gapai, sungguh kini itu yang aku pertanyakan. Derita dan sengsara yang aku timbulkan karena keputusanku, membuat hatiku mempertanyakan ambisiku.

Meski pesta-pora dan sorak tawa gembira senantiaasa ada dalam istanaku, meski aku menenggelamkan diriku dalam kemabukan, dalam semua  hal yang menyenangkan, sesungguhnya aku mengalami malam-malam aku sendiri, merasa kosong saat aku berbaring di peraduannku. Bilik raja yang demikian megah, menjadi tampak kosong di saat malam. Mencekam. Kecemasan, kegalauan membelenggu kakikku. Upon their grave I grieve, i shed tears for their fears. Rasa bersalah terus menggerogoti tubuhku seperti kusta. Aku dibatas kesadaranku. Aku ada dibatas akal sehatku. Sebagai seorang raja aku tidak boleh nampak muram, sedih, kalut, aku harus selalu tampak tenang, terkendali, dan bahagia. Inilah yang semakin menekanku karena hatiku sedang kacau, kalut dan sedih namun aku tidak bisa mengekspresikannya. Seringkali kesedihanku aku ungkapkan dengan kemarahan.

Sesuatu harus berubah dengan sangat segera atau aku akan kehilangan diriku dan kerajaanku.

Aku tidak mungkin merubah masa laluku. Aku hidup pada hari ini, bukan pada hari kemarin, bukan pula pada hari esok. Namun yang aku lakukan hari ini menuliskan sejarahku, dan membentuk masa depanku. Apa pun yang aku lakukan sekarang menuliskan cerita sejarah seorang RAJA PERSIA AGUNG saat nanti aku mati. Aku tidak ingin cerita Persia ternodai oleh kebodohanku, aku ingin namaku tertulis sebagai seorang raja besar Persia. Apa pun yang aku perbuat dan putuskan hari ini menentukan masa depanku dan masa depan kerajaanku. Cukup dengan keputusan-keputusan bodoh, kini saatnya Persia berubah haluan, biar banyak bangsa bernaung dibawah pohon besar Persia, berteduh dalam damai, tanpa pertumpahan darah tanpa korban jiwa. Satu dunia dalam dalam naungan Persia.



 * Sebuah cerita fiksi yang meminjam hanya nama tokoh dan nama tempat, namun lepas dari sejarah. Karena sejarah baru sedang ditulis hari ini oleh setiap manusia dimuka bumi.

No comments:

Post a Comment