Monday, December 26, 2011

Kita Hanya Hidup Hari Ini



Hidup memang senantiasa sebuah pilihan. Ia membawa hidup kita pada persimpangan demi persimpangan. Hidup penuh dengan memutuskan satu hal dan suatu hal yang lain. Tidak selalu mudah aku katakan. Ada pilihan-pilihan sulit yang perlu dibuat.

Resiko senantiasa ada. Tidak ada pilihan yang tidak beresiko. Dulu aku tidak pernah takut dengan resiko. Menempuh resiko sudah menjadi bagian hidupku. Jika kini aku melihat kepada masa mudaku, bukan keberanian yang aku lihat, namun kenekatan yang ada dalam diriku. Banyak keputusan-keputusan tak berotak dan sama sekali tidak bijak yang aku ambil, sebuah keputusan-keputusan konyol dan bodoh. Keputusan -keputusan yang ditentukan berdasar otot dan bukan otak. Tertawa aku mengingatnya.

Namun bagi seorang Raja, pantang menyesal. Perkataanku adalah hukum. Dan hukum yang goyah mengusik kedamaian rakyat. Ayahku mengajarkan keteguhan, seorang pria harus bisa dipegang mulutnya. Pantang mundur, pantang menarik keputusan. Apapun yang terucap pantang aku jilat kembali. Seorang pemimpin tidak boleh plin-plan.

Bertahun-tahun lalu Ia mengajariku hal ini, namun baru kini aku mengerti. Sebenarnya ayahku ingin mengajarkan padaku bahwa seorang raja, siapapun sebagai manusia, haruslah bijak. Tiap perkataan dan keputusan haruslah benar-benar dipikirkan, karena sesungguhnya dalam banyak bicara terletak banyak kesalahan.

Kini hidup yang aku jalani sebagai Raja adalah tuaian keputusan-keputusan masa laluku. Keputusanku untuk melakukan ekspedisi penaklukan keseluruh daratan di muka bumi, membuatku menikmati kerajaan yang megah, luas, dan agung. Semua kekayaan yang ada dalam perbendaharaan istana sebagaian besar adalah jarahan perangku. Keputusanku dulu membuat aku dihormati, disanjung, dan ditinggikan lebih dari manusia yang lain.

Namun tidak semua hasil keputusanku menyenangkan. Dalam kebodohaku aku melahirkan keputusan-keputusan yang kini membuat galau hatiku. Meski aku dulu bangga dengan cerita-cerita perang dan cerita-cerita kemenangan yang aku gapai, sungguh kini itu yang aku pertanyakan. Derita dan sengsara yang aku timbulkan karena keputusanku, membuat hatiku mempertanyakan ambisiku.

Meski pesta-pora dan sorak tawa gembira senantiaasa ada dalam istanaku, meski aku menenggelamkan diriku dalam kemabukan, dalam semua  hal yang menyenangkan, sesungguhnya aku mengalami malam-malam aku sendiri, merasa kosong saat aku berbaring di peraduannku. Bilik raja yang demikian megah, menjadi tampak kosong di saat malam. Mencekam. Kecemasan, kegalauan membelenggu kakikku. Upon their grave I grieve, i shed tears for their fears. Rasa bersalah terus menggerogoti tubuhku seperti kusta. Aku dibatas kesadaranku. Aku ada dibatas akal sehatku. Sebagai seorang raja aku tidak boleh nampak muram, sedih, kalut, aku harus selalu tampak tenang, terkendali, dan bahagia. Inilah yang semakin menekanku karena hatiku sedang kacau, kalut dan sedih namun aku tidak bisa mengekspresikannya. Seringkali kesedihanku aku ungkapkan dengan kemarahan.

Sesuatu harus berubah dengan sangat segera atau aku akan kehilangan diriku dan kerajaanku.

Aku tidak mungkin merubah masa laluku. Aku hidup pada hari ini, bukan pada hari kemarin, bukan pula pada hari esok. Namun yang aku lakukan hari ini menuliskan sejarahku, dan membentuk masa depanku. Apa pun yang aku lakukan sekarang menuliskan cerita sejarah seorang RAJA PERSIA AGUNG saat nanti aku mati. Aku tidak ingin cerita Persia ternodai oleh kebodohanku, aku ingin namaku tertulis sebagai seorang raja besar Persia. Apa pun yang aku perbuat dan putuskan hari ini menentukan masa depanku dan masa depan kerajaanku. Cukup dengan keputusan-keputusan bodoh, kini saatnya Persia berubah haluan, biar banyak bangsa bernaung dibawah pohon besar Persia, berteduh dalam damai, tanpa pertumpahan darah tanpa korban jiwa. Satu dunia dalam dalam naungan Persia.



 * Sebuah cerita fiksi yang meminjam hanya nama tokoh dan nama tempat, namun lepas dari sejarah. Karena sejarah baru sedang ditulis hari ini oleh setiap manusia dimuka bumi.

Saturday, December 24, 2011

Suluh Di Tengah Kelam



Pada jaman dahulu, saat sejarah masih diceritakan mulut ke mulut, kala dunia masih tinggal dalam gelap. Manusia hanya mengenal Matahari, Bulan dan Bintang-Bintang sebagai sumber terang. Mereka menginginkan terang. Dalam gelap mereka ketakutan. Dalam gelap mereka mengkhawatirlan hidup mereka. Apa daya tangan mereka tidak dapat menjangkau bahkan bintang-bintang yang tampak kecil berkilau dilangit malam, apa lagi matahari yang begitu agung dan besar. Seandainya bisa, mereka berharap setiap manusia bisa memegang bintang mereka masing-masing dan hidup dalam terang yang sirnakan ketakutan dan kekhawatiran mereka.

Usaha apapun yang mereka buat senantiasa gagal. Pernah mereka membuat suatu menara. Sangat besar dan sangat tinggi. Bersatu mereka membangun  menara ini, berharap kelak dari puncaknya setiap manusia dapat memetik sebuah bintang dan menjadikan miliknya. Namun gagal. Menara yang mereka bangun runtuh, hancur menjadi puing-puing.

Letih, lelah, mereka putus harapan.

Merka berteriak kepada langit, menanti jawab yang tidak kunjung tiba.

Hingga datanglah utusan langit menawarkan secercah harap pada dunia yang gelap. Sang pembawa pesan ini mendatangi dan menghadap seorang raja. Dengan hormat ia memberi salam "Damai sejahtera beserta mu wahai Raja, dan damailah kerajaanmu."
"Jerit dan teriakmu telah didengar langit" Sahut sang pembawa pesan.
"Namun semua tidak mungkin terjadi tanpa kerja sama kalian" lanjutnya.

"Apa yang bisa kami bantu?""Berapa kami harus bayar?""Pada kami ada kekayaan, emas, perak, dan semua batu berharga" Jawab Sang Raja. Pikir sang raja jika itu semua pun kurang ia akan menaikkan pajak 2 kali lipat.

"Apa yang ada di tanganmu?" Tanya sang pembawa pesan.
"O, ini tongkat kerajaanku."Jawab sang raja. "Maksudmu, engkau inginkan ini? Tahukah engaku  bahwa dengannya aku memerintah, dengannya kerajaanku ditegakkan. Dengan menyerahkan tongkat ini padamu  itu sama artinya aku menyerahkan kerajaanku padamu." Sang raja menjelaskan. " Memang tongkat ini terbuat dari kayu yang disalut emas dan bertahtakan batu-batu mulia. Tapi bukankah perbendaharaanku lebih besar artinya? Jika perlu biar rakyat berkorban lebih dengan membayar pajak dua kali lipat asal api langit itu ada pada kami. Bagaimana dengan penawaranku ini?" sang raja menawarkan.

Dengan tersenyum kecil sang pembawa pesan memohon maaf serta menolak tawaran raja dan dengan santun ia berpamitan serta meninggalkan raja yang kebingungan karena kekayaan yang dia tawarkan baru saja ditolak.

Sang pembawa pesan kembali berkelana, bertanya dan mencari. Sampailah ia pada sekelompok orang-orang cendikia yang sedang berdiskusi dan saling bertukar ilmu. Seperti halnya guru-guru masa kini, para cendikian ini membawa tongkat sebagai lambang kecendikiaan mereka.

Bertanyalah sang pembawa pesan kepada para cendikia, "Maukah engkau menjadi pembawa terang?"
Dengan kompak orang-orang ini menyahut, "Mau"
"Kami ini pembawa pencerahan bagi manusia-manusia bodoh disekeliling kami."
"Jadi Sudah takdir kami, jikalau kami menjadi pembawa terang. Pasti kami akan gunakan dengan bijak dan berhati-hati supaya manusia tidak terjerumus dalam dunia kegelapan lagi."
"Baiklah," jawab sang pembawa pesan, "kini boleh aku bertanya sekali lagi?"
"Bertanyalah dan pasti kami bisa menjawab" jawab seorang cendikia dengan bangga.
"Apa yang pada tanganmu, boleh kah aku memintanya?" mohon sang pembawa pesan dengan santun.
"Kami hanya enam orang dan hanya enam tongkat kecil yang kami pakai untuk mengajarkan orang-orang tentang kebenaran. Bagaimana cara kami membawa api langit itu keseluruh dunia dengan tongkat kami? Belum sampai kami ke pulau sebrang, habislah tongkat kami. Api tidak tersebar, mengajar orang pun kami menjadi tak mampu. Apa jadinya kami nanti" Jawan sang cendikia.
Seorang cendikia lain menjawab dengan bijak, "jika tongkat pengajaran yang kau minta, kami tidak bisa membantumu, kami menjadi penerang bagi dunia gelap kebodohan dengan tongkat kami."

Segera sang pembawa pesan berpaling dan mengundurkan diri dari kelompok cendikia ini, dan ia masih terus mencari.

Dalam perjalanannya ia berpapasan dengan seorang prajurit tangguh. Kilau pakaian besinya menunjukkan ia bukan prajurit biasa. Pedang yang disandangnya berukirkan ukiran keagungan. Tangan kekar yang menggenggam tombak sang prajurit memperlihatkan keberaniannya di medan perang. Sang pembawa pesan segera memberi hormat dan memberi salam, "Selamat pagi wahai pahlawan agung!"
"Selamat pagi wahai pengembara, apa yang bisa hambanmu perbuat untuk menolongmu?" balas sang pahlawan agung.
"Tentu kau mengenalku bahwa aku bersedia menolong siapapun. Bahkan seorang janda miskin pun akan aku bantu. Untuk itulah aku dilahirkan. Dengan lengan kuatku rakyat dibentengi, dengan tombakku aku halau yang mengusik hidup mereka. Maka sekarang sebutkanlah permintaanmu, niscaya aku akan membantu." Lanjut sang pahlawan agung.
"Untuk api langit yang aku bawa, aku membutuhkan tombakmu sebagi suluh. Ijinkan aku meminta tombakmu." sang pembawa pesan meminta.
Dengan sedikit kaget sang pahlawan menjawab, "Jika engkau memintaku mengawalmu sepanjang pencarianmu aku pasti akan menemanimu. Jika engkau memintaku untuk merebut sebuah suluh dari tangan mahluk buas aku akan angkat tombak dan aku robek dan akan aku rebut suluh itu bagimu. Bahkan jika engkau memintaku untuk menggendongmu aku pun akan lakukan. Namun dengan tombak yang kau minta ini, apa yang dapat engkau perbuat? Dengan tombak ini aku telah memenangkan banyak pertempuran, dengan tombak ini aku telah tusuk banyak jantung mahluk-mahluk buas. Biarkanlah aku tetap memilikinya sehingga aku tetap bisa melindungi manusia-manusia tidak berdaya ini. Jika engkau meminta tombakku, maaf kali ini aku tidak bisa membantumu." selesai sang pahlawan agung menjawab, segera sang pahlawan agung memacu kudanya dan hilang dari pandang.

Rupanya pembicaraan sang pembawa pesan dengan sang pahlawan agung telah menarik kerumunan orang. Sepeninggal sang pahlawan, kerumunan itu pergi seorang demi seorang. Hingga tinggallah disitu seorang gembala. Si gembala ini menawarkan tongkatnya, katanya, "bagaimana dengan tongkatku? Apakah ini cukup?"
"Apakah engkau tidak membutuhkannya?" sang pembawa pesan balas bertanya.
"Aku memang membutuhkan tongkatku untuk mengatur barisan domba-domba gembalaanku. Namun jika memang tongkat ini hendak engaku pakai, aku bisa mencari ranting-ranting kering atau batang-bantang pohon lain untuk aku gunakan menggembalakan domba-dombaku."


Dan pada akhirnya bukan dari tongkat raja, tongkat cendikia, maupun tombak sang pahlawan agung terang api langit dilahirkan di bumi. Namun dari kesederhanaan tongkat gembala yang disebarkan pada ranting-ranting kering yang terbuang dan yang diinjak-injak orang, terang dunia menjelajah bumi, memberi terang pada mereka yang tinggal dalam gelap. Api langit tidak mencari kemewahan, kepintaran dan keperkasaan, dari sebuah kesederhanaan terang dunia dilahirkan.

Kawan, menjadi terang bagi sekelilingmu tidak tergantung besar kekuasaan yang engkau punya, tidak tergantung pula tingkat IQ dan kecerdasanmu, juga itu tidak tergantung seberapa kamu hebat. Dalam kesederhanaan dan asal engkau mau menjadi terang dalam setiap perkataan dan perbuatan... maka terang akan lahir di dunia yang gelap, terang lahir di lorong-lorong sempit, terang lahir di kolong-kolong jembatan, memberikan damai dalam kekawatiran, memberikan harapan pada mereka yang kecewa, menyembuhkan luka mereka yang patah hati.
Sekarang, apa yang ada pada tanganmu?


*sebuah cerita natal dari sudut pandang yang berbeda dan pemikiran yang agak bebas.

Friday, December 23, 2011

Menemukan yang Terhilang

Ada seorang gembala yang memiliki 100 ekor domba. Setiap dombanya ia kenal dengan baik. Ia memberi nama kepada setiap dombanya, meski bagi kita semua domba sama, namun bagi dia, setiap domba spesial. Dalam kerumunan besar ia tahu membedakan mana domba yang satu dengan yang lain. Ia bersahabat dengan domba-dombanya. Setiap hari tidak sedetikpun ia melepaskan pandangandan pengawasannya atas domba-domba kesayangannya.

Ia penjaga yang setia. Ia senantiasa membawa gerombolan domba-dombanya itu ke padang ruput yang hijau, yang segar, dan senantiasa menggiring domba-dombanya ke aliran air yang terbaik. Dengan tongkatnya ia halau serigala-serigala, dengan tangannya dan dengan bertaruh nyawa ia melindungi domba-dombanya. Dibawah pohon rindang dia duduk melepas letih dan domba-dombanya meringkuk beristirahat tenang seperti saat domba-domba ini dalam pelukan induk mereka. Tidak ada yang perlu ditakutkan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena penjaga mereka tidak tertidur.

Mereka mengenal suara sang gembala, saat sang gembala memanggil, domba-domba itu mendekat dan mengikuti. Dengan satu perkataan domba-domba ini dibawa mengiring tiap jejak-jejak langkah. Karena mengenal sang gembala, terkadang tanpa kata-kata, rombongan domba-domba ini mengikuti kemanapun sang gembala itu pergi.

Namun ada saat seekor domba tertarik dengan sesuatu, mungkin saja seekor kupu-kupu cantik. Diikutinyalah kemana kupu-kupu itu terbang. Lupa dengan sang gembala, si domba kecil ini terbuai indang kepak sayap dan jelita sang kupu-kupu. Hingga satu waktu, kupu-kupu itu terbang menjauh dan tak lagi dapat terkejar. Si domba kecil barulah menyadari dirinya tersesat. kupu-kupu itu telah membawanya ke tempat yang ia tidak ketahui, tempat yang belum pernah ia jelajahi bersama sang gembala. Meski tempat itu indah, namun tanpa kehadiran sang gembala segala sesuatunya berbeda, tampak lebih mengkhawatirkan. Perasaan yang tidak pernah ia tahu selama ia berada dalam dekap erat sang gembala. Kini ia merasa sendiri, kesepian, ketakutan, dan tersesat.

Di tempat lain, sang gembala mengerti ada yang sesuatu yang tidak baik sedang terjadi, ada domba yang hilang. Ia bergegas menghitung dan melihat kedalam kerumunan, dan segera ia menyadari si domba kecil telah hilang dari kerumunan. Segera ia ambil tongkatnya berlari bergegas. Berdoa dan berharap bahwa sesuatu yang buruk tidak terjadi, tidak peduli nafas yang memburu, dan dan peluh yang menetes ia berlari mencari. Ke lembah-lembah yang dalam, ke tebing-teping curam ia mencari.

Si domba kecil menangis di suatu tempat, berteriak meminta tolong...

99 domba tetap berkerumun, tinggal dalam kenyamanan mereka, berpesta rumput-rumput terbaik, menikmati air yang jernih. Tidak menyadari sang gembala telah pergi. Mereka lupa bahwa perlindungan hanya ada saat kehadiran sang gembala. Mereka terlena, dan tidak lagi mengiring langkah sang gembala. Mereka terbuai dengan rasa puas, rasa tenang, rasa damai. Padahal mereka dulu tahu penyediaan rumput terbaik ada saat mereka mengikuti jejak langkah sang gembala.

Si domba kecil berteriak meminta tolong, mengharapkan jawaban.

99 domba bersorak dalam pesta kenyamanan.

Sang gembala tanpa letih mencari.

Hingga sayup terdengar jeritan si domba kecil, bergegas, berlari menghampiri sumber suara, meski kerikil-kerikil tajam terjejak, perih dan pedih tak lagi dirasa, demi si domba kecil. Tiap pikiran buruk yang ia pikirkan luruh saat ia melihat si domba kecil tampak sehat hanya tampak ketakutan. segera ia dekap erat si domba kecil. "Tenang domba kecilku, tak perlu engkau takut, aku datang, tidak perlu kau khawatir engkau dalam dekapku"

Ia datang dengan cinta, datang untuk menyelamatkan...
Ia menolong yang membutuhkan pertolongan...
Ia membalut luka mereka yang sakit...
Ia membasuh mereka kotor...
Ia memberi ketenangan pada mereka yang ketakutan...
Ia mendekap mereka yang tertolak dan terbuang...
BagiNya engkau berharga...

Melangkah keluar dari perapian unggun, biar tiap bilah kayu membawa api dan menjadi suluh dalam gelap hingga gelap sirna dari dunia. Panggilan menjadi terang bukan untuk bersinar dalam terang namun menyinari dalam gelap, menjangkau yang terhilang...

Wednesday, December 21, 2011

Justice: Blood For Blood

Waktu berjalan, teguh dan lurus, tak sedetikpun terhentikan, tidak seorangpun berkuasa mengendalikannya. Tidak pernah ada pilihan baginya untuk beristirahat terlebih baginya untuk berputar kembali.

Dulu aku dalam kebeliaanku, aku mengangkat pedang menumpahkan darah, terbakar idealismeku, dilecut oleh uforia angan muda. Namun kini waktu membawaku ke masa yang berbeda. Tidak lagi aku mengangkat pedang, menghunusnya, dan lakukan apapun yang aku pandang baik. Kini yang aku punya, hanya tongkat, terbuat dari emas, bertahtakan berlian, ruby, dan batuan-batuan indah. Meski tak ada satu bagianpun yang tajam atau runcing, namun tongkatku bisa menentukan hidup-mati seseorang.

Kematian...

Dalam ketenanganku aku merenungkan hingga kini hidupku selalu dihantui oleh kematian. Bagaimana tidak, keagungan dan kebesaran kerajaan Persia telah dibangun diatas perang dan penaklukkan. Tidak ada perang yang berakhir dengan senyuman. Yang disisakan hanya kehilangan dan kematian. Meski toh ada rasa bangga, ada sorak kemenangan, itu hanya bertahan sesaat. Tidak ada rasa manis madu dalam kemenangan peperangan.

Kini aku mengerti pepatah kuno yang mengatakan si bodoh mencari perseteruan, sedang si bijak mencari sahabat.

Namun semua sudah terjadi, peperangan sudah terlalui, jiwa-jiwa prajurit telah berpulang kepada Sang Khalik. Kini yang tersisa bagiku hanyalah penyesalan... Dapatkah aku bayar hutang darahku? Olehku banyak nyawa melayang. Oleh diriku banyak orang kehilangan.

Saat aku menuai kemenangan, mereka menelan pil pahit dan menuai air mata. Saat aku berbangga atas sebuah keberhasilan, mereka menuai kehancuran. Saat aku dikeyangkan dengan pekik sorak penundukan, hidup mereka aku rampas.

Aku behutang pada mereka, behutang besar. Bagaimana caraku membayarnya?

Jika hukum yang aku tegakkan itu menyerukan keadilan; mata ganti mata; tangan ganti tangan; nyawa ganti nyawa; haruskah aku serahkan nyawaku untuk menebus hutang darahku kepada mereka? Aku hanya memiliki satu nyawa, dan dengan satu nyawaku ini berapa nyawa yang bisa aku bayar? Sekalipun aku hidup berkali-kali, mungkinkah aku menebus hutang darahku pada mereka? Meski aku seorang raja, apakah nyawaku lebih berharga dari nyawa seorang janda miskin? Kalau pun harga atas nyawaku lebih tinggi, sebagai Raja aku hanya raja bagi bangsaku. Bagi bangsaku lah aku mempunyai arti. Jika demikian, pengorbananku akan hanya bernilai bagi bangsaku, darahku hanya mampu untuk menebus bangsaku saja. Bagaimana dengan mereka? Adakah darah yang punya arti untuk semua, yang senilai dengan hutang darahku?

Ataukah memang hanya sang legenda dari tanah ditepi laut mati yang dapat menebus semua hutang darah manusia. Dalam perjalananku, aku menundukkan sebuah bangsa di bawah kakiku, yang dari mulutnya aku dengar tentang juru selamat mereka ini. Seseorang yang membuat mereka merdeka, yang mampu membebaskan mereka. Pengharapan mereka kuat dalamnya, bahkan sampai kini, di kota ku, kota Susan, aku masih mendengar legenda ini. Mereka memanggilnya Mesias.

Sang mesias yang dikatakan penebus umat manusia. Jika ia datang, ia menebus hutang darah setiap manusia, ia akan membayar setiap hutang darah dengan darahnya. Jika memang hanya dia yang bisa menebus semua hutang darah kami semua umat manusia dari segala jaman, dari segala belahan bumi, dari setiap kerajaan dan bangsa yang ada, siapakah ia? Begitu berartinya kah darah sang mesias sehingga nyawanya setara dengan semua nyawa manusia yang pernah ada dan yang ada? Adakah manusia yang lebih berharga dari seorang raja seperti diriku? Bukankah rakyat mempercayaiku sebagai tangan kanan sang Khalik? Ataukah ia Sang Khalik sendiri? Nyawa siapakah yang memiliki nilai setara dengan nilai semua nyawa yang ada? Hanya satu jawaban yang muncul dalam benakku, nyawa Sang KHALIK.

Tapi entah lah, lebih mudah bagiku memikirkan perang, dan memerintah kota-kota. Namun demi keadilan yang aku tegakkan, nyawa ganti nyawa, aku harus temukan jawabannya. Aku harus membayar hutang darahku. Dan jika dia, sang legenda, yang bisa membayar hutang darahku akan aku cari dirinya dan akan aku lakukan apapun demi tegaknya keadilan.

Sunday, December 18, 2011

Kelahiran Sang Raja

"The true King is not by birth but by Process"


Aku adalah raja Persia. Aku menjadi raja bukan sekedar karena aku putra mendiang ayahku. Namun aku telah membuktikan diriku pantas menjadi seorang raja, seorang pemimpin, dan suar bagi kerajaanku.

Aku tidak dapat memilih kelahiranku. Aku tidak dapat memilih aku terlahir ditengah keluarga macam apa. Jikalau aku terlahir ditengah keluarga seorang raja agung, itu bukan kemauanku, bukan pula pilihanku. Tidak seorangpun dari kita bisa memilih. Ketampanan dan kecakapanku pun bukan lah kehendakku.

Tentang kelahiranku, yang aku tahu itu adalah anugrah, pemberian sang Khalik langit dan bumi. Toh, aku pun tidak memilih dilahirkan. Dan semua hal terkait dengan kelahiranku, bukan dalam kuasaku.

Aku membayangkan seandainya aku terlahir dengan keadaan yang berbeda. Terlahir dari keluarga rakyat jelata, terlahir tidak sempurna, terlahir dalam rupa yang tidak pantas, lantas apa jadinya diriku? Akankah diriku tetap berani bermimpi besar seperti pada masa mudaku?Akankah aku terpuruk dalam penyesalan dan menunggu kematian?

Tahun-tahun peperangan telah membentuk diriku. Kebodohan menyertai masa mudaku, namun kini aku bersahabat dengan hikmat. Dari dirinya aku mengerti, aku memang bisa memilih untuk menyesali diri dan menunggu mati seandainya aku terlahir tidak dengan segala atribut yang aku peroleh pada saat kelahiranku dulu, atau aku bisa mengucap syukur dan terus hidup dan bermimpi besar.

Penyesalan tidak akan mengubah apa pun. Waktu tidak mungkin diputar mundur, dan kelahiranku tidak mungkin aku ulangi. Penyesalan hanya akan memberi beban dan menggerogoti hati dan pikiranku sementara sebetulnya aku bisa gunakan untuk hal-hal berguna. Dari penyesalanku atas kegagalan ekspedisi ke Asia utara, aku belajar meletakkan batu kilangan penyesalanku. Dan mengangkat dagu, mengakui kegagalan meski pedih, dan terus maju, berusaha kuat agar tidak gagal.

Jadi seandainya dulu aku tidak terlahir ditengah keluarga raja, mungkin kini aku tetap akan jadi seorang raja. Karena ini lah panggilanku, untuk inilah aku hidup. Meski tidak terlahir sebagai putra mahkota, jika memang menjadi raja adalah alasan kelahiranku, aku akan tetap bermimpi menjadi seorang raja dan memperjuangkannya. Sampai tujuan hidupku aku gapai aku tidak akan berhenti dan tidak terhentikan, tetap bermimpi besar bagi bangsaku, tetap berangan besar bagi kerajaan yang akan aku pimpin.

Mimpi tidak tergantung keadaan, semangat tidak tergantung kekayaan, masalah kelahiran adalah anugrah dan setiap orang tua adalah kado terbaik bagi kedatangan kita di bumi.



* Cerita ini adalah fiksi yang mengambil nama dan tempat sebagai bingkai.

Saturday, December 17, 2011

Jejak Langkah Sang Raja


Aku seorang raja. Bukan hanya karena aku pewaris sah kerajaan ini saja, bukan pula karena ayahku, mendiang raja Persia, tidak mempunyai pilihan lain. Aku bangga memiliki saudara-saudara yang gagah berani, tangkas, cakap, berwibawa, dan berperawakan tampan. Jadi jika dikatakan aku ini raja karena pilihan, maaf aku bukan raja yang lemah.

Aku membuktikan diriku pantas menjadi raja dengan membawa negara-negara, bangsa-bangsa, serta budak-budak ke pangkuan ayahku. Aku menunjukkan kebijaksanaanku dengan menetapkan peraturan dan hukum diatas kerajaan-kerajaan jajahanku. Kegemaranku di masa mudaku adalah berperang, membuat semua bangsa bertekuk lutut dihadapanku. Ini lah ambisiku: semua bangsa di dunia hidup damai dan sejahtera dibawah hukum Persia yang aku tegakkan.

Setelah bertahun-tahun perjalananku, ribuan peperangan, jutaan korban jiwa para kesatria-kesatria Persia, kerajaan yang bangsaku percayakan ke pundakku telah berkembang. Dari ujung Timur tempat berdiamnya bangsa-bangsa Tamil yang berkulit hitam, hingga ke barat di tanah manusia-manusia berkulit pucat. Persia menjadi satu kerajaan besar.

Meski telah aku lalui tahun-tahun peperangan, kini aku masih bisa mencium pekat bau darah, kadang masih terdengar denting-denting pedang ditelingaku kala sunyi aku dalam peraduanku. Pula, terdengar jerit serta erang kesakitan prajurit-prajuritku. Orang-orang memandangku sebagai manusia yang dingin. Manusia yang kejam, biadab, dan tidak berperasaan. Sesungguhnya, tahun-tahun peperangan berdarah telah mengubah diriku, tapi tidak cita-citaku. Masih aku ingat ada saat aku ingin hentikan semua cita-citaku saat aku melihat korban jiwa berjatuhan. Ada saat dimana aku ingin lari karena remuk hati ini.

Aku bertahan, dan tetap bertahan, meski muak dan mual. Aku berikhtiar, aku tidak akan berhenti sampai cita-citaku terwujud. Memang harga yang kami bayar tidak murah. bahkan terlalu mahal. Meski para penasihatku berkata bahwa nyawa mereka adalah harga yang pantas bagi sebuah sebuah kerajaan dunia yang damai, adil, dan sejahtera, aku sebagai manusia berharap ada cara lain yang tidak menghianati cita-cita kedamaianku. Ataukah memang ini harga sebuah kedamaian? Haruskah mimpiku membinasakan mimpi indah rakyat jelata.

Yang aku tahu dari setiap rasa sakit yang kami alami, membuat kami mengerti betapa berharganya kedamaian, setiap nyawa yang hilang membuat kami sadar bahwa cinta dan kebersamaan lebih berarti daripada emas dan perak, setiap sahabat lebih berharga dari saudara yang berkhianat.

Aku terus menghidupi mimpiku dan cita-citaku. Meski rasa bersalah terus merongrong, aku harus tegar demi rakyatku. Aku harus tegas. Aku harus bertindak segera agar korban tidak terus berjatuhan. Mimpiku harus jadi kenyataan, tidak boleh ada seorangpun yang menghentikan langkahku menggenggam asaku. Tapi cara yang berbeda harus dilakukan. Cukup orang tua yang kehilangan teruna-terunanya, cukup isak tangis terdengar dari penjuru negri. Damai harus ditegakkan tanpa damai itu sendiri dikorbankan.

Ini masa Persia yang cinta damai, membawa damai bagi dunia.





*Ini hanya sebuah cerita fiksi, yang meminjam sebuah koridor sejarah sebagai bingkai.

Friday, December 16, 2011

Singgasana Cinta

Hakikat dan keberadaan sesuatu ditentukan berdasarkan tujuan keberadaannya.

Sebuah singgasana dan sebuah 'dingklik' memiliki fungsi yang sama namun berbeda tujuan. Keduanya sama-sama berfungsi untuk duduk. Namun singgasana ditujukan bagi seorang baginda raja, sedangkan dingklik hanya dimaksudkan bagi seorang manusia biasa. Bahkan jika memang ada dingklik untuk seorang raja tentu akan berbeda dengan dingklik biasa.

Sebuah singgasana raja tidak mungkin dibuat dari kayu sembarangan yang dikerjakan asal-asalan. Tetapi, ia akan dikerjakan dengan sangat teliti, dikerjakan oleh seorang ahli. Dibuat sehalus mungkin supaya sang raja nyaman bertahta. Ia akan dihiasi dengan perhiasan terbaik, disalut dengan emas, sebagai pancaran kemuliaan dan wibawa raja yang akan bertahta diatasnya. Ia akan dikerjakan sesempurna mungkin.

Demikian pula hidup kita. Tujuan kita ada bukan sekedar 'lewat' atau hanya sekedar merawat bumi. Tuhan adalah Tuhan yang kekal, itu sejauh yang saya kenal akan Beliau, Ia bersemayam dalam kekekalan. Demikian pula manusia, meski kini kita hidup dalam dunia fana, namun ujungnya kita akan tiba dalam dunia kekekalan. Lantas untuk apa kita ada?

Hakikat dan keberadaan sesuatu ditentukan berdasarkan tujuan keberadaannya.


Kita ada sebagai pribadi yang membutuhkan cinta, tidak ada satupun dari kita yang tidak suka dikasihi, dicintai, tidak ada seorangpun yang menolak saat cinta datang dalam kehidupan. Karena cinta lah kita ada. Karena Tuhan adalah maha pengasih dan penyayang, ia ingin membagikan cintanya. Ia ingin berbagi kasihNya. Dan untuk itulah kita ada. Sebagai pribadi yang dicintai.

dalam tujuan itulah kita diciptakan, sehingga apapun bentuk keberadaan kita, itu sudah dirancang sedemikian rupa, dengan bahan-bahan yang tepat, dengan cara yang sempurna dan dihiasi sedemikian indah untuk CINTANYA bertahta dalam hidup saya dan kawan semua...

Jika saat ini engkau sendiri, patah hati, dan merasa tak seorangpun peduli akan dirimu, ingatlah betapa berharganya dirimu. Tuhan tidak pernah membuat satu pun dari antara kita dengan sembarangan. Demi cintaNya yang besar dan agung, untuk kasihNya yang amat berharga setiap dari kita diciptakan. KITA DICIPTAKAN sebagai SINGGASAN CINTA SANG KHALIK.

Tersenyumlah, berbanggalah, dan janganlah sia-siakan hidupmu.

Bukan untuk rokok kamu dibuat, bukan untuk drugs kita diciptakan... Jangan rusak SINGGASANA CINTA SANG KHALIK!

Thursday, December 15, 2011

North Pole - South Pole


Sering ditemui perbedaan menjadi alasan perpisahan. Bahwa perbedaan menjadi titik percabangan satu perjalanan relasi. Bahwa berbedaan dianggap senantiasa berati tolak mmenolak Dan sebaliknya hanya karena sama maka bisa seiring sejalan. Makanya banyak pasangan muda-mudi membeli sesuatu sepasang dengan alasan 'kompak' dan demi menunjukan mereka pasangan serasi... kebiasaan yang sama dibawa sampai jenjang serius, mereka membeli batik SARIMBIT.. kompak? Belum tentu...

Seharusnya perbedaan bukan menjadi pemisah. Perbedaan bukan dimaksudkan untuk mengklasifikasikan manusia. Perbedaan tidak dimaksudkan membatasi batas-batas normalitas manusia. Perbedaan bukan ada untuk menjadi alasan perpisahan.

Perbedaan ada untuk saling melengkapi. Perbedaan ada untuk membuat kita belajar bahwa kita hanyalah manusia yang diciptakan berbeda dan tidak satupun dari kita sempurna kecuali DIA yang menciptakan kita. Bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk perpisahan, melaikan alasan kenapa kita membutuhkan orang lain. Untuk itulah tidak semua ditentukan menjadi dokter, namun beberapa dilahirkan untuk menjadi supir, menjadi tukan cukur, menjadi penjaja sayur.

Bukankah perbedaan menunjukkan betapa specialnya kita dihadapan SANG PENCIPTA... karena tidak seperti pabrik yang mengeluarkan produk setipe sebentuk tidak ada bedanya... sedangkan kita, manusia, tidak ada satupun manusia yang sama baik dari penampakan, terlebih karakternnya... shugoi... baik jika dibandingkan dengan para leluhur, maupun generasi manusia berikutnya... setiap dari kita cuma ada satu jenis...

Jadi seperti magnet, perbedaan bukan TOLAK-MENOLAK...tapi saling TARIK-MENARIK... salam persatuan!

Wednesday, December 14, 2011

MORE or LESS

Mana yang lebih banyak: Rp 1.000 atau Rp 10.000?

Apakah Anda orang yang menjawab Rp 10.000 lebih banyak dari Rp 1.000? Tidak ada maksud menilai atau apapun toh memang Rp 10.000 lebih banyak jumlahnya.Bagaimana dengan perkara nilai kedua nominal itu? Mana yang lebih bernilai?

Seorang pejuang kehidupan harus berdiri di jalanan terbakar terik mentari, dan kadang bermandikan hujan demi memperjuangkan Rp 1000 yang mungkin mereka akan peroleh. Yang dengannya mereka berjuang bertahan hidup.

Sementara seorang yang lain menghambur-hamburkan uang karena merasa mudah mendapatkannya. Menghabiskan harta demi sesuatu yang tidak ada faedahnya.

Kini mana yang lebih bernilai jika keduanya memberi dalam jumlah yang sama? Keduanya memberi Rp 1.000, mana yang lebih banyak?

Mungkin Anda akan berkata keduanya memberi jumlah yang sama... tapi kawan, bukankah sang pejuang kehidupan memberi lebih banyak. Ia hanya mempunyai Rp 1.000 dan ia memberikan Seluruhnya (100%), sedangkan ia yang gemar berfoya-foya memberi Rp 1.000 sebagai sebagian dari yang yang punya (<100%).

Kawan, permbarian tidak selalu berupa harta. Dalam bekerja kita pun memberikan sesuatu. Dalam kehidupan bermasyarakat juga kita memberi sumbangsih... kini yang kita pikirkan seberapa besar nilai pemberian kita tidak lagi jumlah..,beranjaklah kepada nilai. Lakukan sesuatu dengan totalitas. Berikan 100%, berusaha senantiasa memberi yang terbaik.. meski kadang tidak dihargai.

Saturday, December 10, 2011

Beauty Fades, Character Remains

Green Michi
Your look is what people see out side, yet who you really are inside is what remains.

Is not the shapes which remains.

Banyak manusia sibuk memikirkan penampilan luar. Bagaimana mengenakan pakaian-pakaian bagus. Memakai riasan dan segala macamnya. Memberi amal yang pura-pura dan banyak lagi topong-topeng kebaikan hanya agar mereka tampak baik.

Sayangnya iklan-iklan, baik media cetak maupun media lainnya, mengkampanyekan hal serupa. Bahwa rambut lurus panjang adalah cantik. Bahwa muka tanpa jerawat itu keindahan, kulit berwarna putih itu lebih 'laku' dari pada kulit hitam. Badan kekar itu sexy.Wah daftarnya terlalu panjang... dan sejujurnya.. semua itu akan sirna oleh waktu.
 
The truth is beauty fades, character remains.

Banyak orang yang mengerjakan dan mengejar keisa-siaan ini. Bukan berarti itu tidak baik silahkan kerjakan. Tapi tampilan luar BUKAN SEGALANYA!

Pribadi di dalam kita lah yang sering kita lupakan. Pembentukan dan pembelajaran karakter yang sering kita bolos kelasnya. Saat pembelajaran datang sering kita skip karena itu tidak menyenangkan, bahkan kadang menyakitkan.

Kawan, Jeruk yang enak tidak tergantung kulit luarnya. Baru saja beberapa waktu lalu saya membeli jeruk jenis Ponkam Madu. Berbentuk bulat sebesar bola pingpong rata-rata dan warnanya HIJAU tua macam jeruk pecel. Kami pikir rasanya asam, tapi gila aja mana mungkin jeuk asem dijual... Kami coba buka buihhhh baunya asem banget... tapi waktu dimakan muanisss..segar!

Semua jeruk juga bagitu...rasa tidak tergantung kulit luar. Saat kulit luarnya hancur, dikupas, yang tersisa cuma isinya. Manusia juga. Waktu membuat kulit kita keriput... membuat keindahan tubuh memudar... dan yang tersisa karakter kita.

Mari bangun pribadi kita dalam hidup kita. Banyak orang-orang besar yang terkenal bukan karena tampilan mereka. Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Noble, Martin Luther, Adolf Hitler, Jengis Khan, Soekarno, Yesus Sang Kristus, Albert Einstain, Muhammad, adalah sedikit dari daftar orang-orang tersebut. Sedang mereka yang terkenal dengan penampilan mereka, dimana mereka berakhir dan di kenang?di bawah kaki kita, di injak-injak di sepanjang jalan hollywood.

So, don't skip character building classes which life has... be flourish, be fruitful

Friday, December 9, 2011

1, 2, 3...

Sebelum menjadi kodok... telur menetas menjadi berudu kemudian tumbuh menjadi katak muda yang berekor, dan akhirnya barulah ia menjadi katak.

Sebuah gedung pencakar langit tidak akan mencapai ketinggian spektakuler jika bagian demi bagian lantai tidak disusun dengan baik.

Untuk mencapai angka seratus, bukankah dimulai dari satu, kemudian melewati dua, dilanjutkan ke tiga dan seterusnya...

Seringkali dalam hidup kita kita melupakan yang namanya proses. Padahal untuk mencapai suatu mimpi atau cita-cita, PROSES adalah suatu keharusan. Memang sepertinya lambat, tapi perlu. Sepertinya lama, tapi itu yang membuat kokoh.

Menyusun bata demi bata untuk bangunan hidup yang kokoh butuh ketelatenan, butuh ketekunan, butuh kesabaran, memerlukan kejelian, dan masih banyak lagi... apapun yang kamulakukan terhadap rumah hidupmu hasil akhirnya engkau sendiri yang menikmati.

Baik itu rumah yang kokoh dan  nyaman atau rumah yang asal-asalan dikerjakan... rumah yang didirikan diatas pasir. Yang saat banjir datang melanda rumah itu terhanyutkan...

Pilihan selalu tersedia, pilihlah dengan bijak bagaimana kau bangun rumah kehidupannmu dan semoga kau menikmati hasil jerih lelahmu dalam kepuasan dan senyum kebanggaan....

Thursday, December 8, 2011

KERIS sang MAHA PATIH

sering kali perkerjaan atau tugas apapun datan tiada henti dan bagai gelombang tsunami... menenggelamkan kita..paling nyelekit kalo setelah semua usaha baik dan terbaik yang kita lakukan.. ujungnya cuma jadi sampah... beu... anak krakatau meledug... BOOOOM!

Sakit gitu lho!


You know what? you can give up...menyerah dan berhenti.... cari kerjaan lain but... dengar cerita ini dulu:

Sebongkah metal meteor jatuh ke bumi, seorang pandai besi tua dari Majapahit kuno menemukannya. Ia tahu bahwa batu bintang itu bisa menjadi keris yang tajam. Dipanaskan dalam api yang tetap hingga batu itu merah membara... dihantamkan palu besar... DANG... DANG... DANG.... "Belum selesai..." desah sang empu. Ia kembali membakar batu bintang bekali-kali dan menempanya berkali-kali pula...

"Terlalu keras..."
 
"Mungkin aku harus menyerah...tapi batu ini akan tetap sebingkah batu..dan tidak ada satupun yang menyadari potensinya... menyerah hanya kan membuat batu ini terbuang, kehilangan potensinya"

"Batu bintang, aku tahu ini tidak mudah... bertahanlah..tiap tempaan akanmembentuk kamu makin kuat, makin indah, tiap pembakaran menghilangkan zat-zat yang menutupi kilaumu... aku tidak menyerah, jangau kamu menyerah..."

Akhirnya sang empu kelelahan dan tidak sempat menyelesaikan maha karya keris batu bintang...beliau mangkat tanpa menyelesaikannya. namun beliau telah menyelesaikan bagiannya.

Putra sang empu melihat keris batu bintang ini setengah jadi...dari hasil tempaan sang ayah, ia tahu ada yang istimewa dari keris ini... dan sekali lagi prosesnya dimulai... sampai akhirnya sang keris menjadi keris yang disandang oleh sang maha patih.

seandainya batu itu menyerah mungkin ia akan dibuang dan tidak ada yang tahu...

hidup lah, berjuanglah... kilaumu tak kan dapat disangkal!

Thursday, December 1, 2011

Buah Nangka...Buah Durian

Bibit suatu buah bisa dilihat jika sebuah pohon bertumbuh menjadi dewasa dan berbuah. Biji mangga akan menumbuhkan pohon mangga yang nantinya akan menghasilkan buah mangga juga. Jika seorang menanam pohon jagung... maka ia akan memperoleh jagung normalnya. Tidak ada pohon jagung yang menghasilkan buah nangka... atau pohon mangga berbuah semangka.

Dari sisi yang lain jika seseorang mengharapkan memanen durian (yang sedang in) ya pastinya Ia harus menanam durian. TIdak ada pula satu pohon menghasilkan 2 macam buah.

Buah dari hidup kita itu menunjukkan siapa dirikita yang sebenarnya. Seperti biji yang ditanam dalam tanah mungkin seiring berjalannya waktu akan hilang dan tidak lagi nampak, tapi dari buahnya akan nampak bibit macam apa yang menjadi sejatinya pohon tersebut. Pribadi kita yang terkubur dalam relung-relung hatimu mungkin dapat tertutup-tutupi dengan lapisan topeng demi topeng hidup. Namun apa yang nampak dari hidupmu adalah pancaran hatimu...

kawan... menabur kebaikan maka ujungnya kebaikan pun yang akan kau panen. Sekarang apa yang kau tabur?

Kebencian
Amarah
Emosi
Dendam
Perselisihan
Perpecahan
Iri dengki
Perbuatan-perbuatan hawa nafsu
...

atau

Kasih
Sukacita penghiburan
Pegampunan
Kesabaran
Kebaikan
Kesetiaan
Pengertian
Hidup
Kemurahan
Kasih persaudaraan

Life is merely an option... so choose wisely, coz life won't turn back